Film-film Pilihan Isu Terorisme - Peristiwa 9/11 dianggap sebagai serangan teroris paling akbar yang langung menghantam jantung Amerika, dua simbol utama negara itu: perdagangan (menara kembar World Trade Center) dan pertahanan (Pentagon). Korban tewas mencapai hampir 3000 jiwa.
Sinema, khususnya Hollywood, sempat dipersalahkan atas aksi itu. Mendiang sineas Robert Altman menuding Hollywood yang gemar menampilkan kekerasan di layar putih. “Tak ada yang terpikir melakukan hal seperti itu kecuali jika mereka menyaksikannya di film. Saya yakin, kita telah menciptakan atmosfer ini dan mengajarkan mereka melakukannya,” gugat Altman.
Tapi, sinema kemudian juga memaknai peristwa besar yang mengubah arah sejarah manusia itu dalam 10 tahun terakhir. Hollywood dan pusat-pusat sinema dunia lainnya membuat film-film bertema terorisme, baik mengangkat peristiwa 9/11 langsung, memaknainya, maupun menyoroti dampak peristiwa itu.
Film-film yang kami masukkan daftar di sini tak hanya film Hollywood, tapi juga dari berbagai negara lain—termasuk Indonesia. Tujuannya, selain untuk memperkaya khasanah perfilman, juga untuk menegaskan kalau 9/11 berikut masalah yang menyertainya bukan semata persoalan negeri Paman Sam saja. Sejumlah negara mengalami tragedi 9/11 versinya masing-masing, seperti Tragedi Bom Bali I & II di Indonesia, teror di London, Madrid, India, hingga perang di Afghanistan dan Pakistan.
Sejumlah film Hollywood masih melakukan pendekatan Djingo-isme ala Rambo dalam menghadapi terorisme macam The Kingdom (2007), saat Amerika merasa paling benar dan berhak mengobrak-abrik negara lain mengincar teroris. Maupun mengangkat sentimentalisme peristiwa runtuhnya WTC lewat World Trade Center (2006) karya Oliver Stone. Film macam begitu tak masuk daftar sini.
Film-film di daftar ini adalah film pilihan yang memiliki maksud untuk saling membuat pengertian di tengah kecamuk antar peradaban. Menonton film-film di daftar ini niscaya Anda akan memiliki pemahaman yang tidak hitam-putih serta mendalam.
1. Kandahar (2001, Iran, Sutr. Mohsen Makhmalbaf, Iran)
Entah kebetulan atau tidak, film ini pertama diputar hanya beberapa hari sebelum tragedi 9/11 di Festival Film Tororonto (tepatnya 8 September 2001). Dengan semangat semi-dokumenter film ini ingin memperlihatkan bagaimana nasib para wanita Afgan di bawah rezim Taliban. Hasilnya, film ini memiliki momen-momen yang sulit dilupakan. Di antaranya ketika “pasukan terjun paying” berupa kaki-kaki palsu untuk para korban perang. Seperti ketiban rejeki, dengan langkah tertatih disangga tongkat, para pemduduk Afghanistan berlomba memungutnya. Kisahnya gtentang Nafas (Nelofer Pazira) yang berhasil keluar Afghanistan dan hidup enak di Kanada. Sayang, adiknya tertinggal di negeri yang potak-poranda itu. Nafas kemudian mendapat surat dari adiknya mengatakan ia akan bunuh diri saat fajar pergantian abad 21. Nafas lalu pulang ingin menyelamatkan nyawa adiknya. Dalam perjalanan itu ia kemudian melihat kondisi negerinya yang hancur akibat kekuasaan rezim Taliban.
2. In This World (2002, Sutr. Michael Winterbottom, Inggris)
Dicatat Garin Nugroho dalam sebuah tulisannya di Kompas (2004), In This World menjadi penanda tumbuhnya film-film dunia dengan tema Islam di wilayah konflik di Asia dan Timur Tengah. Kata Garin, “Inilah dialog Islam di ruang publik tanpa kekerasan, tetapi lewat momen kreasi dan apresiasi.” Akibat negeri Afghanistan yang dikecamuk perang, satu juta orang mengungsi di Peshjawar, perbatasan Pakistan-Afghanistan. Michael Winterbottom, dengan gaya semi dokumenter, mengikuti perjalanan dua anak manusia, Jamal dan Enayat mencari penghidupan lebih baik melintasi dari Pakistan menuju Iran, melewati wilayah Kurdi dan menembus pegunungan Turki, menjadi imigran gelap di London. Perjalanan mereka diatur para profesional penyelundup manusia. Dalam semangat Jamal dan Enayat, kita bercermin bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk mewujudkan angan mencari hidup lebih baik, tak peduli perjalanan maha berat harus dilalui untuk mewujudkannya.
3. Eleven Minutes, Nine Seconds, One Image: September 11 (2002, Sutr. Youssef Chahine, Amos Gitai, Alejandro González Iñárritu, Shôhei Imamura, Claude Lelouch, Ken Loach, Samira Makhmalbaf, Mira Nair, Idrissa Ouedraogo, Sean Penn, Danis Tanovic)
Film ini punya judul pendek September 11. Ini adalah kumpulan film pendek 11 sutradara kenamaan dunia (dari Iran, Inggris, AS, Burkina Faso, Jepang, Prancis, Israel, India, Bosnia, Meksiko, dan Mesir dengan total durasi 135 menit) yang sengaja dibuat merespon tragedi itu. Ibarat haiku, puisi pendek Jepang, film ini padat tapi menyengat. Para sineas di film ini lebih mengemukakan gagasan ketimbang keindahan dengan satu benang merah: tragedi 11 September 2001 adalah akumulasi kekerasan yang tidak datang dengan sendirinya tapi ada sebab-akibatnya. Karya Samira Makhmalbaf, misalnya, mengatakan kematian para penungsi Afgan lebih konkret daripada kematian di seberang sana.
4. Fahrenheit 9/11 (2004, Sutr. Michael Moore, Amerika Serikat)
Si tambun bertopi baseball Michael Moore adalah sineas yang mengutarakan opininya dengan bahasa sinema yang provokatif, kontroversial, subversif, sekaligus berselera humor. Lewat film ini, sasaran tembaknya adalah Presiden George W Bush yang menggunakan tragedi 9/11 sebagai jalan membawa Amerika ke perang tak berguna—yang menghabiskan ongkos kemanusiaan dan ekonomi—di Irak dengan alasan tak sahih (Irak katanya punya senjata pemusnah massal padahal tidak). Bagi Moore, rezim Bush tak ubahnya seperti badut—bisa ditengok waktu awal film Bush dan bawahannya yang terlihat konyol, bodoh, dan jorok saat bersiap hendak wawancara. Dengan ketekunan melebihi seorang jurnalis investigatif, Moore mengulik kalau rezim Bush di masa lalu punya hubungan erat baik dengan Osama Bin Laden maupun Saddam Hussein.
5. Syriana (2005, Sutr. Stephan Gaghan, Amerika Serikat)
Syriana merupakan film dengan multiplot yang menjadi ciri khas dekade kemarin. Manusia-manusia yang terpisahkan geografi di penjuru-penjuru dunia yang berjauhan bisa saling berdampak. Well, untuk kisah seberat dan sekompleks Syirana, pengisahan multiplot memang paling tepat. Beginilah gambaran dunia pasca 9/11. Ada Amerika yang terus berkeras melawan segala ancaman terorisme dengan menerjunkan agen-agen rahasianya hingga ke pelosok negeri Muslim; ada sel teroris yang tak penah hilang karena kemiskinan kemudian membuat orang mencari jalan jihad untuk menyalahkan Amerika atas petaka hidup mereka; serta Amerika yang menjadi bagian dari masalah global dengan mengeruk minyak dari negara-negara Muslim. Semuanya berkelindan jadi satu.
6. United 93 (2006, Sutr. Paul Greengrass, Amerika Serikat)
Siapa sangka, film paling pas menggambarkan situasi hari itu, 11 September 2001, lahir dari tangan sutradara Inggris bukan jebolan Hollywood. Greengrass datang dengan trademark-nya membuat film laksana semi dokumenter. Maka, filmnya begitu real, tanpa emosi, seolah ia hanya menaruh kamera (yang goyah untuk makin memberi efek realis) pada momen-momen peristiwa itu: kebingungan di darat, kepahlawanan di udara. Pada film Greengrass peristiwa besar itu tampil apa adanya. Tidak ada patriotisme maupun propaganda. Filmnya tentang manusia-manusia yang ditakdirkan berada dalam situasi itu. Lain tidak.
7. Khuda Kay Liye/In The Name of God (2007, Sutr. Shooaib Mansoor, Pakistan)
Menonton film ini, sedikit banyak saya seperti melihat cermin negeri sendiri. Pakistan adalah negeri yang mirip kita, saat fundamentalisme agama hidup berdampingan dengan gaya hidup sekuler. Di tengah kontradiksi itu, situasi global mempengaruhi kehidupan manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa jadi korban. Syahdan, kita melihat kakak-beradik Mansoor (Shaan) dan Sarmad (Fahwad Khan) yang tinggal di Lahore. Mansoor kemudian bernasib menjadi tersangka teroris meski jelas tak bersalah disiksa dengan keji hingga nyaris gila, sedang Sarmad tergoda jadi radikal tapi kemudian sadar kalau niat sucinya berjihad sebetulnya dimanfaatkan para pemuka agama belaka. Juga ada Mary (Iman Ali), wanita Pakistan di Inggris yang ditinggalkan ayahnya di Pakistan, hidup bersama kaum muslim radikal hanya karena ayahnya jengah dengan gaya hidup bebas putrinya jadi omongan di komunitas Pakistan (padahal ia sendiri hidup tanpa nikah dengan bule).
8. Where in the World is Osama Bin Laden (2008, Sutr. Morgan Spurlock, Amerika Serikat)
Dalam khasanah dokumenter, Morgan Spurlock penganut Michael Moore: sineas adalah penulis opini lewat film. Maka, di filmnya kali ini--setelah menjadikan dirinya sendiri kelinci percobaan makan-minum junk food di Super Size Me—Spurlock memburu Osama Bin Laden agar anaknya yang dikandung istrinya bisa hidup damai tanpa trancam sang teroris. Spurlock memulai perburuannya dengan berlatih beladiri. Tapi, tentu saja ini misi main-main. Spurlock ke Mesir dan berbagai negeri Islam lain mencari Bin Laden. Tentu ini misi main-main. Yang dilakuka Spurlock sesungguhnya bagaimana Barat yang gamang mulai mengenal Islam dengan lebih akrab. Yang tersaji adalah dialog. Bukan perang. Sebuah upaya yang patut dihargai.
9. 3 Doa 3 Cinta (2009, Sutr. Nurman Hakim, Indonesia)
Sebetulnya, negeri kita pernah membuat film yang khusus menyoroti tragedi Bom Bali I lewat Long Road to Heaven (2007). Tapi, film itu kurang menggigit sebagai karya sinema. Akhirnya, filmnya dianggap angin lalu. Buat saya, film yang dengan pas memperlihatkan Indonesia pasca 9/11 justru 3 Doa 3 Cinta (2007). Walau film ini dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra, dua bintang idola itu bukan pemikat utama filmnya. Debut penyutradaraan karya Nurman Hakim ini saya sebut paling menggambarkan berbagai tipologi Islam di Indonesia. Ada orang Islam tradisionalis prularis, ada orang Islam skripturalis yang radikal, serta orang Islam yang pragmatis. Dari ketiga sosok tipologi Islam itu salah satu di antaranya kemudian nyaris terkebak dalam laku terorisme. Segala kemalangan umat Muslim di dunia (termasuk dirinya) menjadi alasannya ingin mati syahid. Tapi kemudian juru penolongnya justru datang dari “calon sasarannya”. Ini memperlihatkan tindakan terorisme tidak hanya bakalan tidak tepat sasaran, melainkan demikian absurd untuk dilakukan.
10. My Name Is Khan (2010, Sutr. Karan Johar, India)
Tiga nama ini, Shah Rukh Khan, Kajol, dan Karan Johar sudah terbukti menghasilkan film sukses Kuch Kuch Hota Hai dan Kabhie Kushie Khabie Gham. Namun, selain tiga nama besar itu, film ini juga punya tema besar: bagaimana diaspora warga India (baik Muslim maupun Hindu) di tengah masyarakat AS yang memandang setiap Muslim adalah teroris paca 9/11. Bagaimana melawan prasangka picik itu? Syahdan, Rizvan Khan (Shah Rukh Khan) seorang Muslim, menikahi Mandira (Kajol) yang Hindu, dan punya anak Sameer Khan. Prasangka pada Muslim yang tumbuh subur paca 9/11 menelan korban Sameer tewas di-bully. Mandira menyalahkan Rizvan yang Muslim. Ia mengusir Rizvan pergi dari rumah. Rizvan yang polos bertanya, kapan ia boleh kembali. Mandira bicara asal, “Katakan kepada Presiden, ‘Namaku Khan, dan aku bukan teroris!’ Baru kau boleh kembali.” Rizvan mengidap sindrom asperger yang menyerap kata bulat-bulat. Maka dimulailah perjalanan Rizvan melintasi Amerika berusaha menemui presiden. Perjalanan hebat Rizvan tak hanya berhasil kembali merebut cinta Mandira, tapi juga menyadarkan banyak orang kalau setiap umat beragama bisa hidup berdampingan dengan damai.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar
Please do not SPAM or commented by stating the link !
Anda MALING seperti saya, jadilah maling bijak!
Saya anggap Anda pengunjung yang baik dan bernyali untuk tidak menggunakan komentar dengan fasilitas ANONYMOUS.
Pergunakan komentar ini dengan bijak !
Mungkin memerlukan beberapa jam untuk me-Moderasi komentar anda guna masuk seleksi juri kami, apakah layak juri terbitkan atau tidak ! Makasih untuk tidak membuang sampah disini !